Karikatur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) di Indonesia |
Anak-anak kecilpun sering mendiskrimanasi teman-teman mereka yang
berbeda. Diskriminasipun dimulai sejak dini. Mulai dari yang paling
hakikipun masih saja ada diskriminasi. Entah sejak kapan diskriminasi
tentang agama mulai dan sampai saat ini belum berakhir.
Sering tersiar berita konflik antar agama yang hampir tak pernah
berhenti beritanya. Periode 1095 – 1291 adalah konflik antar agama
paling lama. Hampir 200 tahun konflik antara umat Nasrani dan Islam
terjadi. Sampai saat ini pun rasanya masih ada saja perseteruan diantara
keduanya. Apa perang selama hampir 200 tahun tersebut belum memuaskan
nafsu saling membunuh diantara mereka? Atau saling mengklaim kebenaran
agama yang membuat mereka berkonflik hingga saat ini?
Di sini agama bukan lagi merupakan rahmat sebagaimana diklaim oleh semua
agama, melainkan telah menjadi bencana, seperti kata Kimley. Sumber
pokoknya adalah klaim eksklusif kebenaran iman. Misalnya, Islam menyebut
umat yang bukan Islam sebagai kafir dan begitu juga dengan Nasrani yang
mendoktrin neraka adalah imbalan bagi mereka yang meninggalkan agama
Nasrani. Memang, berbagai kasus konflik dan peperangan dilatarbelakangi
kepentingan ekonomi dan politik, misalnya di Indonesia, kasus konflik
Ambon dan Maluku. Dalam kasus itu, agama hanyalah sumber legitimasi yang
dimanfaatkan demi kepentingan politik ataupun ekonomi. Sedangkan di
lingkup internasional ada konflik antara Israel dan Palestina yang juga
memiliki latar belakang serupa.
Tapi mengapa agama begitu mudah dimanfaatkan? Sebab, agama itu
mengandung fanatisme dan masing-masing merasa benar serta dibantu Tuhan
masing-masing. Fanatisme yang meledak-ledak ini sunggah tidak baik jika
ada dalam negara dengan pluralitas tinggi seperti Indonesia ini.
Indonesia sebenarnya harus bisa mengubah fanatisme yang ekstrim itu
menjadi nasionalisme tingkat tinggi yang membawa kearah perdamaian dan
persatuan. Tapi tidak begitu dengan kenyataan yang ada saat ini. Seakan
semuanya terbalik dari apa yang ada dalam pernyataan ini.
Konlfik yang dilatarbelakangi oleh agama adalah konflik yang paling
eksplosif. Konflik kepentingan ekonomi dan politik tersebut selalu
dibarengi dengan konflik antarpemeluk agama. Konflik Irlandia Utara
disertai dengan konflik antara penganut Katolik dan Kristen, konflik
Kashmir juga merupakan konflik Islam-Hindu. Masalah separatisme Thailand
Selatan juga dilatarbelakangi perbedaan agama Buddha dan Islam serta
masalah yang sama di Filipina telah membawa konflik Islam-Katolik. Di
lain pihak, persamaan agama bisa tidak menyelesaikan masalah, misalnya
dalam kasus separatisme Kurdi, padahal suku Kurdi ataupun bangsa Turki
dan Irak sama-sama muslim. Dalam kasus ini, timbul pertanyaan, lalu apa
manfaat persaudaraan karena persamaan agama? Lalu apa yang mereka dapat
dari beragama? Apakah ajaran agama mereka menganjurkan berperang?
Agama secara potensial merupakan sumber konflik dan bencana sepanjang
waktu dan di mana saja? Pertama, karena agama menekankan iman yang tidak
bisa dikompromikan dan tidak bisa didialogkan. Selanjutnya, kedua iman
itu selalu mengklaim kebenaran absolut yang eksklusif. Ketiga, agama
terbesar di dunia, Kristen dan Islam, adalah agama dakwah atau
evangelis, yang bertujuan memperoleh pengikut yang sebanyak-banyaknya.
Keempat, dua agama itu cenderung berprinsip “tujuan menghalalkan cara”
(the end justify the means). Kelima, dalam mencapai tujuan atau
mempertahankan diri, agama pada umumnya meminta bantuan kekuasaan dan
negara, seperti UU Anti Penodaan Agama. Sehingga politikpun mulai
ditunggangi oleh kepentingan golongan (agama) dan bukan lagi kebijakan
politik yang berpihak pada rakyat secara keseluruhan.
Tidak lain yang juga membuat perseteruan agama abadi hingga saat ini
ialah cara pandang dari masing-masing pemeluk agama. Menurut Nurcholish
sikap inklusif memandang agama-agama lain sebagai bentuk implist dari
agamanya sedangkan sikap eksklusif memandang agama-agama lain sebagai
jalan yg salah yg menyesatkan bagi pengikutnya. Ternyata sikap toleransi
yang telah diajarkan guru PPKn [Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan] sejak kita SD sampai SMA dan bahkan dibangku kuliahpun
masih diberikan tak bisa menghentikan sejarah abadi konflik ini. Para
pemeluk agama ternyata tidak bisa memahami hakikat UUD ‘45 pasal 28E
yang menyatakan dengan gamblang bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya.
Sempat terlintas dipikiran memprotes kepada MPR untuk mengamandemen
pasal tersebut dan bila perlu dihapuskan. Pasal tersebut hanyalah pasal
kosmetik yang sekedar mempercantik citra Indonesia sebagai salah satu
negara yang menghargai HAM. Indonesia masih sarat dengan pemaksaan,
diskriminasi dan kekerasan. Tidak perlu lagi saling klaim mana yang
benar ataupun salah. Pada dasarnya agama dapat dianalogikan sebagai
roda, dimana pusat roda adalah Tuhan dan jari-jari itu adalah
jalan-jalan atau agama-agama, menurut Nurcholish Madjid.
Kata pepatah, banyak jalan menuju Roma, begitulah sebenarnya bagaimana
kita memandang perbedaan antar agama. Biarlah masing-masing individu
menentukan keyakinan mereka, karena itu adalah hak asasi yang pailing
hakiki yang mereka miliki sejak lahir. Memeluk agamapun juga hal pribadi
yang sebenarnya orang lain tak patut untuk mengusiknya. Beragama adalah
hubungan spiritual individu dengan Tuhan, dan tidak pernah dibenarkan
ada “mak comblang” yang memprovokasi si X untuk memilih ajaran Tuhan si A
lebih benar dari Tuhan si B.
Masihkah perlukah konfilk? Jika jawaban para pemeluk agama “ya”, lebih
baik tidak beragama tapi bermoral dari pada terlibat konflik agama tiada
akhir yang sama halnya seperti manusia tanpa moral.
0 komentar:
Posting Komentar