Ada banyak perdebatan tentang peranan manusia dalam perubahan iklim global (Global Warming). Beberapa ahli berpendapat bahwa peranan tersebut dapat melalui pembakaran bahan bakar fosil dan pelepasan chlorofluorocarbon (CFC) gas, dan mereka berpendapat bahwa interaksi manusia menimbulkan ancaman yang lebih terhadap atmosfer bumi daripada proses alam, seperti letusan gunung berapi. Hal ini menjadikan pemahaman tentang peran letusan gunung berapi dalam mempengaruhi perubahan iklim global sangat penting. Apa pun sumbernya, perubahan komposisi partikel di atmosfer bumi menghasilkan tiga dampak:
- Dampak terhadap Ozon
Asam klorida (HCl) telah terbukti efektif dalam menghancurkan ozon namun, studi terbaru menunjukkan bahwa HCl dari aktivitas vulkanik (Volcanic Hcl) hanya samapi pada troposfer (bawah stratosfer), hal ini disebabkan oleh hujan yang terlebih dahulu mencucinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hcl tidak pernah memiliki kesempatan untuk bereaksi dengan ozon. Di sisi lain, data satelit setelah 1991, letusan Mt.Pinatubo (Filipina) dan Mt . Hudson (Chile) menunjukkan hilangnya ozon 15-20 %, dan 50% ozon yang hilang berada di atas Antartika. Dengan demikian, tampak bahwa letusan gunung berapi dapat memainkan peran penting dalam mengurangi tingkat ozon. Namun, peranan tersebut tidak secara langsung karena tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan Volcanic HCl. Partikel letusan yang dihasilkan, atau aerosol, muncul dan berinteraksi dengan klorin dan bromin - senyawa dari manusia chlorofluorocarbon (CFC). Untungnya, partikel vulkanik akan keluar dari stratosfer dalam dua atau tiga tahun, sehingga efek dari letusan gunung berapi pada penipisan ozon hanya dalam jangka pendek. Meskipun aerosol vulkanik memberikan katalis untuk penipisan ozon, penjahat sebenarnya dalam menghancurkan ozon adalah CFC yang dihasilkan manusia. Para ilmuwan berharap lapisan ozon pulih karena pembatasan pada CFC dan bahan kimia perusak ozon lainnya oleh PBB dalam Protokol Montreal mengenai Bahan yang Merusak Lapisan Ozon. Namun, letusan gunung berapi di masa mendatang akan menyebabkan fluktuasi dalam proses pemulihan .
- Dampak terhadap Bertambahnya Gas Rumah Kaca (GRK) Letusan gunung berapi dapat meningkatkan pemanasan global dengan menambahkan CO2 ke atmosfer. Namun, jumlah CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia setiap tahun masih lebih besar daripada letusan gunung berapi. TM Gerlach (1991, American Geophysical Union) mencatat bahwa CO2 dari aktivitas manusia 150 kali lebih banyak daripada CO2 letusan gunung berapi. Dampak kecil dari pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca akibat letusan diimbangi oleh besarnya dampak dari pendinginan global yang disebabkan oleh partikel letusan yang dihasilkan di stratosfer (efek kabut). Pemanasan rumah kaca di bumi sangat jelas terasa sejak tahun 1980. Tanpa pengaruh pendinginan letusan seperti El Chichon (1982) dan Mt. Pinatubo (1991), pemanasan rumah kaca akan menjadi lebih jelas.
- Efek Kabut (Haze Effect)
Letusan gunung berapi memiliki efek kabut lebih besar dari pada efek rumah kaca, dan dengan demikian mereka dapat menurunkan suhu global rata-rata. Menurut Gerlach, selama bertahun-tahun kontribusi aktivitas vulkanik terbesar dari efek kabut adalah ketika partikel abu tersuspensi di bagian atas atmosfer dan menghalangi radiasi matahari. Letusan 1980 dari Mt. St Helens menurunkan suhu global dengan 0.1 derajat Celcius, letusan dari El Chichon menurunkan suhu global tiga sampai lima kali lipat. Meskipun letusan Mt. St Helens mengeluarkan sejumlah besar abu di stratosfer, letusan El Chichon mengeluarkan material vulkanik dalam jumlah yang jauh lebih besar dari gas yang kaya sulfur (40x lebih). Dapat disimpulkan bahwa volume material vulkanik yang keluarkan selama ledakan bukanlah kriteria terbaik untuk mengukur dampaknya pada atmosfer. Jumlah gas yang kaya sulfur tampaknya lebih penting. Sulfur bercampur dengan uap air di stratosfer untuk membentuk awan padat denga tetesan asam sulfat kecil. Tetesan ini memakan waktu beberapa tahun untuk menyelesaikan reaksi kimianya dan mereka mampu mengurangi suhu troposfer karena mereka menyerap radiasi matahari dan menyebarkannya kembali ke angkasa.
- Contoh Dampak Pendinginan Global Akibat Letusan Gunung Vulkanik Bersejarah:
Bukti pengamatan menunjukkan korelasi yang jelas antara letusan bersejarah dan kondisi iklim yang dingin pada tahun-tahun berikutnya. Tiga contoh bersejarah terkenal dijelaskan di bawah ini:Gunung Laki - Laki
(1783)
AS timur mencatat suhu terendah yang pernah musim dingin rata-rata 1783-1784 , sekitar 4.8 derajat Celcius. Eropa juga mengalami musim dingin yang sangat parah. Benjamin Franklin berpendapat bahwa kondisi dingin itu diakibatkan terganggunya sinar matahari oleh debu dan gas yang dibuat oleh letusan Gunung di Islandia (Gunung Laki) pada tahun 1783. Letusan Laki adalah letusan terbesar di masa bersejarah. Hipotesis Franklin sama dengan teori ilmiah modern, yang menunjukkan bahwa besarnya volume SO2 adalah penyebab utama dalam kabut - efek pendinginan global.
Gunung Tambora - Tambora (1815)
Tiga puluh tahun kemudian, pada 1815, letusan Gunung Tambora, Indonesia, mengakibatkan musim semi dan musim panas tahun 1816 sangat dingin, yang kemudian dikenal sebagai tahun tanpa musim panas. Letusan Tambora diyakini menjadi yang terbesar dari sepuluh ribu tahun terakhir. New England dan Eropa merasakan dampak yang cukup parah. Hujan salju dan es terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Rusaknya tanaman jagung memaksa petani untuk menyembelih hewan mereka. Dapur umumpun dibuka untuk memberi makan para orang yang lapar. Laut es meluas hingga area pelayaran di Samudra Atlantik, dan gletser Gunung Alpine bertambah hingga lereng gunung.
Erupsi Anak Krakatau - Krakatau
(1883)
Letusan dari gunung berapi Krakatau di Indonesia pada Agustus 1883, dua puluh kali lebih dahsyat jika dibandingkan letusan pada 1980 dari Mt. St Helens. Letusan Krakatau adalah letusan terbesar kedua dalam sejarah, dikerdilkan hanya dengan letusan Tambora yang merupakan tetangga dan meletus pada tahun 1815 (lihat di atas). Selama berbulan-bulan setelah letusan Krakatau, dunia mengalami cuaca musim dingin, matahari terbenam dengan kemilau, dan senja berkepanjangan karena penyebaran aerosol diseluruh stratosfer. Matahari terbenam yang tidak biasa dan berkepanjangan menimbulkan perdebatan kontemporer yang cukup besar tentang asal usul terjadinya fenomena ini. Fenomena ini juga memberikan inspirasi bagi para seniman yang dilukiskan pada saat matahari terbenam. Beberapa lukisan abad ke-19 -an, dua di antaranya dicatat di sini.
- Laki
(1783)
Semoga Bermanfaat.
Sources: http://www.geology.sdsu.edu (Diterjemahkan dan disesuaikan oleh Daniel Jones B)
0 komentar:
Posting Komentar