Kamis, 09 Mei 2013

Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli dimana pengelolaannya dengan sistem zonasi yang pemanfaatannya antara lain untuk tujuan pendidikan, penelitian dan rekreasi. Indonesia memiliki 50 buah taman nasional yang menyebar di enam wilayah yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Dari seluruh taman nasional yang ada di Indonesia, TN Lorentz merupakan taman nasional daratan dengan keluasan yang paling besar yaitu sekitar 2.505.600 hektar dan TN Kelimutu merupakan taman nasional daratan dengan keluasan yang paling kecil yaitu sekitar 5.000 hektar, sedangkan TN Laut Teluk Cendrawasih merupakan taman nasional laut dengan luasan yang paling besar 1.453.500 hektar dan TN Laut Bunaken Manado Tua merupakan taman nasional laut dengan luasan yang paling kecilyaitu sekitar 89.065 hektar.  Keadaan biofisik taman-taman nasional tersebut sangat bervariasi. Dari segi luas saja, terdapat keragaman yang sangat tinggi, yaitu dari cuma 5000 ha seperti TN Kelimutu sampai 2,5 juta ha seperti TN Lorentz. Demikian pula, keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di mana taman-taman nasional tersebut berada adalah sangat beragam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap taman nasional tersebut memiliki potensi, permasalahanatau persoalan dan tantangannya masing-masing.

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) adalah salah satu dari taman nasional yang ada di Indonesia. Taman nasional ini terletak di Provinsi Jawa Timur dan secara administrative terletak di empat kabupaten yaitu, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Pasuruan. TNBTS memiliki dua objek daya tarik wisata yang paling popular yaitu Gunung Bromo dan Gunung Semeru.

Objek wisata Gunung Semeru merupakan salah satu kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai objek wisata alam. Pariwisata saat ini menjadi salah satu sektor perekonomian yang dapat diandalkan dalam pembangunan ekonomi mulai dari tingkat daerah hingga nasional, terbukti dengan peningkatan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2011 sebesar 8,45% jika dibandingkan dengan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2010 yaitu sebesar 7,002,944 orang.

Indonesia yang kaya dengan objek wisata alam sangat memungkinkan untuk dikembangkan guna mendukung peningkatan ekonomi masyarakat. Pada sektor kehutanan, wisata alam dan pemanfaatannya diharapkan dapat menjadi kegiatan yang penting dalam perbaikan kondisi lingkungan dan peningkatan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan khususnya kawasan hutan. Besarnya korbanan yang dikeluarkan dapat digunakan untuk merefleksikan preferensi masyarakat terhadap sumberdaya alam hayati.

Dalam pengelolaan dan pengembangan suatu taman nasional selain aspek lingkungan perlu diperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Besarnya pengorbanan yang diberikan untuk pengelolaan taman nasional tersebut hendaknya memberikan suatu keuntungan. Keuntungan disini bukan hanya terjaganya kelestarian alam tetapi juga memberikan manfaat  secara sosial dan ekonomi. Secara sosial bermanfaat bagi masyarakat baik pengunjung  yang menikmati keindahan alam ataupun masyarakat lokal yang memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Secara ekonomi adanya manfaat bagi institusi pengelola secara materi yang melebihi biaya pengelolaan yang dikeluarkan.

Kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang terjadi akan menurunkan manfaat tangible dan intangible suatu kawasan begitu juga dengan kawasan Gunung Semeru. Hal ini bisa merupakan efek dari tidak diketahuinya manfaat dari sumber daya alam di kawasan tersebut. Potensi daya tarik wisata alam yang dimiliki oleh Gunung Semeru merupakan modal utama pendorong kehadiran wisatawan untuk datang berkunjung. Daya tarik wisata alam tersebut akan dapat dinikmati oleh pengunjung bila tersedia fasilitas pendukung, sehingga pengembangan prasarana dan sarana fisik mutlak diperlukan.

Perencanaan pengembangan obyek daya tarik wisata dan pengembangan jenis kegiatan wisata sejak awal perlu dilakukan dan disusun dalam sebuah rancangan pengelolaan kawasan wisata sebagai alur pengembangan di masa yang akan datang. Kemudian nilai ekonomi di salah satu kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada dikategorikan dalam manfaat intangible berupa wisata.

Nilai wisata dilihat dari konsep ekonomi dapat diukur dengan metode kontingensi melalui pendekatan kesediaan membayar (willingness to pay) atas kepuasan memperoleh peningkatan kualitas lingkungan wisata dari kawasan. Metode ini mengukur besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung sehingga dapat dijadikan acuan untuk menduga potensi dan nilai ekonomi yang dimiliki kawasan TNBTS. Dengan diketahuinya identifikasi daya tarik obyek wisata dan nilai ekonomi ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan bahwa lingkungan dan sumberdaya alam memiliki nilai manfaat yang besar bagi masyarakat, sehingga bukan hanya pemerintah dan pengelola tetapi juga pengunjung dan masyarakat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.

Menurut simulasi penghitungan willingness to pay TNBTS yang dilakukan, nilai wisata dari wisata alam Gunung Semeru pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 36.210.000 dengan WTP rata-rata sebesar Rp 13.076,92. Terjadi peningkatan nilai wisata setiap tahunnya dimana hal ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah pengunjung dari tahun ke tahun. [dan]

sumber : Seminar Sumberdaya Alam, Lingkungan dan Energi Universitas Airlangga tahun 2012 tentang Pengembangan Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Studi Kasus di Objek Wisata Alam Gunung Semeru oleh Daniel Jones Bernadi

Ketahanan energi merupakan salah satu pilar ketahanan nasional, karena ketahanan energi menjadi salah satu faktor pendukung terwujudnya ketahanan ekonomi. Energi listrik memiliki peran yang strategis dalam mendukung kehidupan masyarakat modern. Segala aktivitas masyarakat modern saat ini tidak bisa dipisahkan dari energi listrik. Aktivitas perekonomian tidak bisa lepas dari penggunaan energi listrik. Pada proses produksi energi listrik menjadi input utama agar proses produksi bisa berjalan.



Energi listrik sangat berperan penting bagi proses produksi. Apabila energi listrik harus didapatkan dengan harga mahal maka hal ini akan mempengaruhi biaya produksi. Kenaikan biaya produksi ini akan mempengaruhi kenaikan harga barang dari perusahaan tersebut. Sesuai dengan teori mikro ekonomi, jika barang itu bersifat elastis maka akan menurunkan total revenue. Ketika perusahaan tidak mampu menaikkan harga barang untuk mengatasi tingginya biaya produksi, maka perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Kenaikan harga maupun pengurangan jumlah tenaga kerja sama-sama memiliki dampak negatif yang berkepanjangan bagi perekonomian. Oleh karena itu, energi listrik menjadi salah satu faktor utama pendorong roda perekonomian.

Sektor energi merupakan salah satu sektor yang cukup besar perannya dalam menyumbang emisi GRK (Gas Rumah Kaca). Oleh karena itu sektor energi perlu berinovasi untuk menurunkannya dengan menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Salah satu opsi untuk mengurangi emisi di sektor energi, khususnya untuk pembangkit tenaga listrik adalah dengan menggunakan energi baru dan terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun dalam perencanaan pengembangan ketenagalistrikan nasional seperti tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2009–2018, PLTN belum merupakan pilihan untuk dikembangkan.

Pada tahun 2008 sebagian besar pembangkit listrik PLN menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara dengan kapasitas terpasang mencapai 40% dari total kapasitas. Diikuti oleh pembangkit berbahan bakar gas sebesar 35% baik menggunakan pembangkit listrik turbin gas (PLTG), maupun pembangkit listrik gas combined cycle (PLTGU). Sisanya menggunakan pembangkit listrik tenga air (PLTA) sebesar 12%, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sebesar 10%, pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 3%, dan sisanya pembangkit listrik tenaga minyak (PLTM) yang kapasitasnya saat ini sangat kecil. Sedangkan pembangkit tenaga angin meskipun sudah ada namun masih sangat kecil peranannya.

GAS VERSUS BATUBARA

Menurut General Electric, cadangan gas alam Indonesia mencapai lima kali cadang minyak bumi Indonesia, yakni yang sudah proven adalah 157,14 trillion standard cubic feet (TSCF) dan bisa dipakai hingga 46 tahun. Estimasi cadangan yang belum provenmencapai 594,43 TSCF (174 tahun). Potensi gas ini akan semakin besar bila ditambahkan coal bed methane (CBM) berjumlah 453,3 TSCF (133 tahun). Belum lagi ditambahkan shale gas (gas yang berada didalam batuan induk), seperti dilansir Harian Kontan, sebesar 574 TSCF yang mampu dipakai hingga 168 tahun.

Gas alam dianggap lebih efesien karena memiliki pembakaran yang lebih sempurna dan bersih (clean burning) sehingga perawatan mesin menjadi lebih murah. Dengan pembakaran yang bersih, gas alam menjadi lebih ramah lingkungan karena bebas dari logam berat, sulfur dan emisi NOx yang sangat rendah. Jika dilihat dari sisi finansial, gas alam yang langsung dari pipa gas lebih hemat seperempat kali dari harga minyak bumi. Jika sudah berbentuk LNG, lebih murah setengah harga dari minyak bumi.

Menurut UNDP (2007), koefisien emisi CO2 dari pembangkit listrik terbesar dihasilkan oleh pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara yaitu sebesar 1,14 kg/kWh. Sehingga pembangkit listrik dengan bahan bakar gas jauh lebih ramah lingkungan yaitu dengan tingkat koefisien emisi CO2 sebesar 0,678 kg/kWh. Sehingga perlu dikembangkan dari pembangunan pembangkit listrik dengan bahan bakar gas guna mendukung pemerintah dalam mengurangi GRK.

Batubara menempati urutan pertama dalam membangkitkan tenaga listrik (33,83%) dengan alokasi biaya sebesar 15,38% yang menghasilkan biaya pembangkitan termurah yaitu sebesar Rp 113,92/kWh. Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa biaya pembangkitan termahal berasal dari PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yaitu sebesar Rp 579,89/kWh. Biaya bahan bakar diesel relatif mahal, namun biaya investasi PLTD relatif murah dibanding jenis pembangkit lainnya dan biasanya digunakan untuk sistem ketenagalistrikan yang kecil. Untuk PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) tidak ada biaya bahan bakar, tetapi belum tentu PLTA menghasilkan listrik dengan biaya termurah karena pembangunan bendungan / waduk memerlukan biaya besar dan berdampak sosial-ekonomi bagi masyarakat. Jadi, rata-rata biaya pembangkitan yaitu sebesar Rp 250,48/kWh untuk perhitungan tahun anggaran 2003.

Biaya pembangkit dengan menggunakan gas alam lebih mahal dari pada menggunakan batubara. Tetapi perlu pula dihitung pengeluaran akibat limbah dan emisi yang merusak lingkungan. Jika dengan tujuan untuk mengurangi emisi GRK maka seharusnya pemerintah mulai mengembangkan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar gas alam.

Penulis menyarankan kepada pemerintah untuk lebih mengembangkan pembangkit listrik dengan menggunakan bahan bakar gas alam untuk mengurangi emisi GRK yang dihasilkan oleh pembangkit listrik di Indonesia. (dan)

- SAVE OUR ENVIRONMENT-







Unordered List

Sample Text

Sample text

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Icons

About Me

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget